Akankah atawa Sedangkan

03 November 2007

Akankah kita terus diam, berpangku tangan
Sedangkan mereak tunggang langgang,
Berlari kencang, laiknya seekor kijang
Mereka semua berharap akan sebuah kemenangan

Akankah kita terus menyendiri, mengisolasi
Sedangkan mereka gegap-gempita menabuh genderang kebersamaan
Mereak riuh-redam larut dalam keramaian

Akankah kita terus…
Sedangkan mereka…

Sudah saatnya kita lari tunggang-langgang meraih kemenangan
Sudah waktunya kita hadir dalam kebersamaan
Dan sudah masanya kita untuk terus berjuang

Melawan keterasingan,
Menuju cita-cita kemerdekaan

Gubug biru, 02112007 : 01.00




selanjutnya...

Economic of Love

01 Oktober 2007









Ketika aku melihat fungsi penawaranmu yang maha dasyat
Ku sambut dengan fungsi permintaanku…sambil terkulai
Tetunya dengan cita terbentuknya titik ekuilibrium di antara kita berdua

Namun akankah semua asumsi dalam benak ini menurunkan fungsi utilitasmu
Titik temu di antara demand-supply lah yang akan menentukan

Oh…berilah aku sebuah model sederhana agar dapat mengutarakan semua ini
Cinta ku bagai himpunan convex
Selalu mengalami trend naik di setiap waktunya


Kalau tak percaya,
carilah titik dalam kurva hatiku dan hatimu
Lalu ketika kau menarik garis keduanya
Maka akan kupastikan titik temu keduanya
Menjadikan bukti rindu ini masih tetap milikmu

Telah berkali-kali ku melewati perasaan diminishing of return terhadap mu
Namun kau harus yakin, dirimu tetap tak akan pernah tersubstitusikan oleh siapa pun
Mari kita satukan komplemen-komplemen gejolak ini
Agar semua variabel yang memengaruhi relung asmara ini
Menuju titik maksimum yang diharapkan

Skedul-skedul benih-benih yang kau tinggalkan
Ku harap dapat sesuai dengan budget line yang aku utarakan

Mmm,...akankah terus terjadi inflasi cinta seperti ini
Kondisi krisis yang berlarut-larut,
Apakah semakin memaksa diriku jatuh pada pilihan floating policy

Ku berharap agregat bisik jiwa dalam diriku mampu menahannya
Karena aku yakin, the invisible hand akan mampu membawamu
Kepada diriku seorang.

selanjutnya...

Sebelum lupa,…

27 September 2007

Sebelum lupa, kususun
Wajahmu dalam serpihan ingatan
Terjebak dalam kenangan
Mungkin, menjadikanku sedikit edan

Sebelum lupa, kutulis
Namamu dalam kata
Lalu, kupenggal dalam diam
Sepipun mengubur dalam-dalam

Sekali lagi sebelum lupa, kubaca
Kenangan dalam hawa
Gambar foto yang sedikit tak berupa
Turut mencoba mereka

Dan,
Takutku mulai menjelma
Tak tau mengapa
Benar-benar takut tuk menerka

Tak tau apa
Apakah kau sudah lupa

Sekedar kata, tuk mencoba mereka. Kala itu.
Di kala matahari congkak di dirinya.
Menghujani kecongkaan sang garuda wisnu kencana.
Sederet kenangan manis tak terlupa.
Tapi semua tak lagi berupa. Apalagi berwarna.
Hanya sampai di ujung kata.
Dan semoga tak berakhir dengan dusta. Amiin

Bali bagus, 19 April 2005


selanjutnya...

Pers Mahasiswa: Tak mau mati, hidup saja

oleh. Alvin N M*
Persma atau lembaga pers mahasiswa, bagaimana nasibmu kini? Pertanyaan inilah yang harus kita jawab bersama sebagai punggawa atau pegiat persma. Tetapkah dirimu dalam kubangan permasalahan penerbitan yang berkala. Kala-kala terbit dan kala-kala tidak terbit. Sumberdaya manusia yang punah dimakan seleksi alam. Dan, dana yang tak kunjung cukup memenuhi kebutuhan operasional liputan sampai pencetakan berita.

Hidup segan mati tak mau. Mungkin itulah ungkapan yang pas untuk menggambarkan kondisi lembaga pers mahasiswa kekinian. Hidup segan karena semua serba kesulitan dan repot. Sulit dana, repot ngurus awak redaksi yang ogah-ogahan, repot tugas kuliah atau apa pun lah yang membawa rasa segan untuk hidup. Memang sak repotan sendiri jadi persma. Mati tak mau. Jelaslah bagaimana kalau persma mati, siapa yang akan membuat berita yang ’benar’. Siapa yang akan menyatakan kebenaran. Siapa lagi kalau bukan persma di tengah derasnya arus modal kapitalisme yang melilit perusahaan media. Meski dengan seambrek ’repotan’ persma tetap harus hidup. Tak mau mati.

Namun rasanya sekarang kita tak harus gundah dengan gambaran tersebut. Apalagi bingung dengan ungkapan hidup segan mati tak mau. Ungkapan itu harus segera didekonstruksi. Sudah saatnya beralih pada gambaran atau ungkapan yang lain. Persma yang tak segan hidup dan tak akan mati selamanya.

Manajemen Persma harus berubah
Tentunya konstruksi di atas tidak muncul begitu saja. Ada satu hal yang dapat dijadikan preskripsi bersama. Resep itu adalah manajemen. Jika ingin lepas dari belitan realitas pelik permasalahan di atas, harus dilakukan perubahan manajemen persma. Persma harus dikelola dengan manajemen yang baik dan tertata. Tidak ada lagi istilah bebas deadline, sdm yang sedikit, kurang dana, atau pun pledoi klasik nan klise lainnya.

Manajemen yang dimaksud terbagi menjadi tiga hal. Manajemen redaksi, manajemen sdm, dan manajemen organisasi. Memang nampaknya dalam keseharian mengelola lpm, kita sudah menerapkan tiga manajemen tersebut. Tapi coba kita pahami lagi, benarkah yang kita terapkan adalah manajemen yang baik. Sebuah manajemen yang lengkap dengan kekuatan controling di dalamnya. Rasanya tidak, selama ini yang kita lakukan hanya sebatas perencanaan dan pelaksanaan. Kalau pun ada kontrol seringkali tidak maksimal.

Nah, mari kita kupas satu per satu. Pertama, manajemen redaksi. Kita bersama mafhum, sebagaimana mestinya persma telah menerapkan manajemen redaksi dalam kinerjanya. Dan kita semua paham benar, bahkan nglotok manajemen redaksi. Mungkin karena terlalu seringnya kita mendengarkannya dan mendendangkannya dalam setiap materi pelatihan jurnalistik tingkat dasar dan lanjut. Akan tetapi sudahkan kita menerapkannya dengan maksimal dan benar. Mengapa masih terjadi los deadline? Apa yang salah dari itu semua?

Saya akan coba menjawabnya, yang salah atau yang menyebabkan terjadi lepas deadline adalah manajemen redaksi yang amburadul. Pemahaman yang ada manajemen redaksi persma adalah sama dengan penjelasan urutan kerja redaksi beserta tupoksi masing-masing redaksinya. Padahal manajemen yang sebenarnya haruslah detail dan tentunya fleksibel sesuai dengan kondisi obyektif masing-masing lpm.

Meski demikian, parahnya lagi manajemen redaksi yang didapat dan ada hanyalah teori. Ketidakpercayaan muncul, mungkin karena tidak pernah ditemukannya kondisi realitas yang sama dengan materi manajemen redaksi yang dijelaskan. Apalagi ditambah dengan pola pemahaman manajemen redaksi yang turun-temurun. Sama sejak bahula sampai sekarang. Tidak pernah ada inovasi di dalamnya.

Dampaknya adalah pegiat persma akan berjalan seadanya, sesuai pakem yang telah didapat, biasa-biasa saja. Tidak pernah ada inovasi dalam pengelolaan redaksi. Kalaupun ada terhitung minim, karena senantiasa dibayangi pakem yang rasanya tidak lagi boleh berubah. Semua itu salah dan selanjutnya menjadi penyebab manajemen redaksi amburadul.

Sebagai pegiat persma kita harus berani beda, selalu berinovasi. Mengikuti perkembangan jaman tapi tidak larut bersama arusnya. Artinya, manajemen redaksi harus berubah demikian adanya. Tidak ada pakem yang mewajibkan persma harus menerbitkan majalah ataupun buletin. Pola fleksibilitas harus kita ciptakan dalam diri persma. Kalau tidak bisa menerbitkan majalah, ya jangan menerbitkan majalah kalau tidak mau keteteran. Mengapa tidak terbitkan buletin, yang relatif lebih mudah, murah, dan terjangkau. Senyampang maksud dan isi berita sampai pada pembaca. Itu pun juga bukan alternatif tunggal, banyak alternatif lain yang justru memiliki outcome besar ke pembaca.

Ketika pemahaman di atas dapat kita pahami bersama, harapan redaksi untuk menerbitkan media persma yang kontinyu sesuai deadline tidak lagi menjadi mimpi. Persoalan selanjutnya, cukupkah dengan manajemen redaksi yang berhasil membuat media terbit kotinyu. Bagaimana dan sudahkah media kita dibaca oleh pembaca? Tentunya hal ini juga menjadi persoalan yang menuntut penyelesaian manajemen redaksi.

Pernah dengar jurnalisme komik, pemberitaan dengan medium utama gambar, atau jurnalisme pesawat kertas, medium pemberitaan yang simple hanya dengan selembar kertas yang dilipat seperti membuat pesawat dari kertas. Semua itu media alternatif, yang kiranya lebih dapat dan ’dapet’ di hati pembaca. Bukankah maksud pemberitaan kita adalah sampainya maksud tulisan ke pembaca.

Artinya, ditengah deras arus penerbitan media umum yang tampil dengan wajah beragam daya tarik, media persma harus juga berbenah. Image persma dengan media yang kurang menarik, jadul, atau konvensional mungkin, harus segera kita patahkan. Kuncinya adalah bagaimana manajemen redaksi kita maknai sebagai pola yang harus kita terapkan dengan beragam pertimbangan faktor yang melingkupinya. Singkirkan manajemen yang jumud bergantilah ke manajemen redaksi yang lebih up to date.

Kedua, manajemen sdm. Sebatas pengamatan saya, makin hari peminat jurnalistik, sebagai core activity dari persma, semakin bertambah. Kegiatan yang ada sangkut-pautnya dengan ritus kewartawanaan semakin diminati muda-mudi. Coba kita amati, berbagai media massa nasional atau pun lokal, mulai menambah rubrik muda, yang semua itu digawangi oleh wartawan muda juga. Artinya, kaitannya dengan sdm persma hari ini, aktivitas pers semakin diminati dan dapat dipastikan mahasiswa yang tertarik di dunia ini juga semakin banyak. Lebih lanjut tidak ada alasan untuk minim sdm atau terlambatnya proses regenerasi bagi lembaga persma.

Akan tetapi mengapa persma kekinian minim sdm? Mungkinkah ini dampak dari seleksi alam? Saya rasa tidak. Seleksi alam tidak akan pernah terjadi jika kita punya manajemen sdm persma yang baik. Selama ini kita selalu menyalahkan pegiat baru persma yang tidak at home dengan model persma. Mungkin ada benarnya. Tapi boleh jadi mereka terdepak seleksi karena manajemen sdm kita yang ala kadarnya.

Ketiga, manajemen organisasi. Selama ini kita disibukkan dengan urusan redaksi dan sumberdaya manusia. Sehingga keduanya menyilaukan pandangan kita dari urusan yang satu ini, organisasi. Bukan maksud untuk membedakan urusan redaksi dengan organisasi. Karena memang ada yang beranggapan urusan organisasi secara implisit sudah ada dalam redaksi. I don’t give a shit-lah dengan itu, yang jelas urusan organisasi harus kita pentingkan.

Organisasi boleh jadi yang akan menyeimbangkan kedua manajemen di atas, redaksi dan sdm. Dengan manajemen organisasi kita dapat mengemas keduanya menjadi kekuatan yang menopang laju persma. Saya punya anggapan, dengan manajemen organisasi yang baik, sebuah lembaga persma tidak lagi monoton dengan aktivitas ’persma’. Mungkin kita harus berani beda untuk mencipta sebuah kemasan. Karena tujuan mulia persma untuk menyatakan kebenaran dan membenarkan kenyataan, tidaklah an sich melalui pemberitaan media. Banyak aktivitas lain yang sebenarnya dapat meyokong tujuan mulia tersebut. Dan posisi ini menjadi fokus organisasi dengan manajemennya.

Saatnya Persma bangkit
Masih banyak sebenarnya yang dapat kita kupas dalam persma. Tulisan ini hanya mencoba mengantar dan sedikit ’membuka’ kalaupun selama ini nampak ’tertutup’ pemikiran kita bersama. Telah banyak perbedaan era sekarang dan era lama, era dimana media persma menjadi kekuatan yang tiada tandingannya. Dimana kala itu memang semua takut dan menutup ketakutan akan otoritarian pemerintah.

Nah, bagaimana sekarang. Jaman telah berubah, semua serba terbuka semenjak kran reformasi dibuka. Tidak ada lagi perusahaan media yang takut dalam pemberitaan. Ekstrimnya, positioning persma dahulu memang belum diambil pihak lain, tapi telah dimiliki semua. Akankah kita berdiri dan bergerak dengan pola lama. Tentunya tidak. Saatnya persma bangkit, berpikir cerdas dalam mengelola lembaga pers mahasiswa dengan keliaran dan ke dalaman ide yang saya yakin dimiliki para pegiat persma.

Selanjutnya, tiga manajemen di atas merupakan satu kesatuan. Tidak ada yang harus lebih unggul dan terabai. Semuanya harus berjalan selaras dan seimbang menuju tujuan persma. Sehingga, persma ke-kini-an dan ke-akan-an tak lagi hidup segan dan mati tak mau. Pers mahasiswa Indonesia tak mau mati, hidup saja. Viva persma!!!
*) santriwan yang gemar mengaji dan mengkaji ilmu ekonomi.

selanjutnya...

Mulai menjelma,...

Mulai menjelma, mata itu
Dalam kuasa sinar surya nan biru
Namun sesekali malu
Meski aku yakin semua itu milik ku

Mulai menjelma, tubuh itu
Dalam sadar jauh dari kaku
Tapi jelas itu semua milikku

Mulai menjelma, suara itu
Layaknya merdu sarbu
Meski terkadang sendu
Semua itu tetap milikku

Dan, semua itu kala itu
Tak tau, aku sekarang mulai ragu

Dan, terus meragu
Tak tau mengapa
Karena semua itu mulai semu
Dan, seringkali menjadi abu-abu

Tapi, bagimana pun itu
Terus menjelma, semu itu

Aku mulai ragu. Polah tingkah yang seringkali membuatku malu.
Namun aku sadar semua itu dari ku. Untukmu meski ragu.
Makasih atas semua keraguan itu.

Ecp:161106


selanjutnya...