Resesi Besar, Bukan Depresi

23 November 2008

MUNGKINKAH depresi tahun 1930 kembali terjadi? Sebelum menjawabnya, saya akan singgung sedikit apa dan bagaimana depresi tahun 1930-an terjadi. Depresi besar dasawarsa 1930-an (dulu kita kenal dengan istilah malaise) terjadi akibat kegagalan permintaan yang merupakan salah satu masalah pokok perekonomian. Dengan kata lain, seperti yang diungkapkan Keynes depresi ekonomi disebabkan oleh kepanikan yang berhubungan pada permintaan irasional terhadap uang tunai di Wall Street yang disebutnya sebagai ”preferensi likuiditas” (liquidity preference).

Kondisi permintaan irasional terjadi karena waktu itu bursa saham sedang bergairah (bullish). Akibatnya terjadi ’eksodus’ modal besar-besaran dari bank ke bursa saham. Ledakan spekulan tak terhindarkan dan pada kondisi inilah tercipta gelembung ekonomi (economic bubble).

Nah, bagaimana kemudian dengan Krisis finansial global (Financial Global Crisis) yang terjadi belakangan ini?
Krisis finansial global saat ini sejatinya bermula dari perilaku boros pemerintah dan masyarakat AS. Hal ini tercermin dari adanya defisit ganda AS, defisit anggaran belanja dan defisit transaksi berjalan. Selain itu, krisis juga dipicu oleh kredit perumahan sub-prima (subprime mortgage) dalam jumlah besar di Amerika Serikat yang lepas kontrol. Memang kala itu perumahan menjadi bisnis yang menarik, namun ketika suku bunga naik, kredit macet naik.

Laris-manisnya bisnis perumahan ini awalnya mendorong spekulan berinvestasi dengan ekspektasi tinggi (booming ekonomi). Akibatnya kredit bergerak tak terkendali dan ini adalah konsekuensi dari dianutnya market fundamental. Faktor greedy pun terwujud dalam (Moral hazard dan mark-up).

Fakta di atas mirip dengan teori siklus bisnis. Menurut Teori Siklus Bisnis, saat booming ekonomi, kredit akan bergerak tak terkendali, moral hazard tumbuh, sehingga masa kemakmuran akan berbalik menjadi krisis.

Perilaku boros, gagal bayar kredit beresiko tinggi yang kemudian diperparah dengan berkembangnya penciptaan derivatif di sektor keuangan menjadi awal krisis. Bencana keuangan pun melanda dan melumpuhkan sejumlah lembaga yang bergerak di bidang KPR. Raksasa finansial Bear Stearns dan Bank raksasa Lehman Brothers menjadi korban.

Guna mengatasi krisis dan menyelamatkan bank-bank yang terpuruk, pemerintah AS terpaksa campur tangan dengan melakukan bailout 700 milyar dolar. Jatuhnya Lehman Brothers tidak bukan akhir cerita, krisis justru makin meluas. Beberapa pasar modal pun mengalami panic selling, yang kemudian mendorong kejatuhan indeks harga saham di hampir semua negara.


Dan krisis finansial global yang bermula dari kekacauan subprime mortgage di Amerika Serikat, telah menyebabkan shock pada perekonomian, bukan saja perekonomian Amerika, tetapi juga perekonomian dunia. Bagaimana dengan Indonesia, apa yang terjadi?

Krisis Global Bagi Indonesia
Dianutnya rezim perekonomian terbuka menjadikan semua negara dunia terintegrasi. Kebijakan negara (intern) yang dibuat harus memasukkan pertimbangan kondisi internasional (eksternal). Karena kondisi eksternal akan sangat memengaruhi sebuah negara dan tidak sebaliknya bagi negara dengan perekonomian terbuka kecil, seperti Indonesia.


Krisis keuangan global ’memaksa’ Indonesia untuk ikut ambil bagian, meski tidak besar, di dalamnya. Dampak krisis keuangan global setidaknya membawa pengaruh pada sektor riil dan sektor perbankan.


Dampak krisis di sektor riil nampak pada perubahan neraca perdagangan. Pelemahan ekonomi AS, dan negara maju lainnya, yang notebene menjadi negara tujuan utama ekspor Indonesia, berpotensi memengaruhi ekspor Indonesia. Selain itu sektor pariwisata juga ikut teancam karena berkurangnya jumlah wisman. Turunnya volume ekspor dan jumlah wisman yang merupakan penurunan permintaan agregat, dapat mengakibatkan menurunnya tingkat pertumbuhan ekonomi. Dampak lanjutan adalah meningkatknya pengangguran dan berkurangnya cadangan devisa.


Begitu halnya di sektor finansial meski relatif mampu bertahan, goncangan tidak terhindarkan. Harga saham IHSG anjlok ke level 1.250-1.400 dari puncaknya pada level 2.800 pada akhir 2007. Perluasan pun terjadi dengan terdepresiasinya kurs akibat kelangkaan dollar di pasar uang. Terapresiasinya dollar terhadap rupiah memberi potensi capital outflow semakin besar. Dan mengingat tingginya ketergantungan Indonesia terhadap impor, juga berpotensi meningkatnya imported inflation.


Resesi Besar, Bukan Depresi

Begitulah krisis finansial yang merepotkan banyak pihak ini terjadi. Terdapat beberapa kesamaan dan perbedaan dengan depresi besar 1930. Kesamaan diantaranya epi sentrum krisis, ulah spekulan, runtuhnya lantai bursa yang ’memaksa’ bank gulung tikar, meningkatnya angka pengangguran, dan turunnya PDB. Kondisi ini membuat masyarakat dunia menjadi harap-harap cemas, apakah depresi besar sebagaimana tahun 1930-an akan terulang.

Namun demikian secara nominal perbandingan kondisi Amerika Serikat pada krisis finansial saat ini jauh lebih kecil daripada depresi tahun 1930-an.

Depresi 1930-an

Amerika Serikat

Krisis Finansial 2008

25%

Pengangguran

6%

40%

NPL Properti

4&

54%

Penurunan Produksi

2% (sejak Januari ’08)


Dari tabel tersebut, kiranya krisis ini tidak akan membawa kepada depresi. Selain karena angka yang terpaut jauh, pendapat saya diperkuat dengan perbedaan perlakuan terhadap krisis. Kerjasama (peran negara) yang pada masa depresi kurang dikedepankan, dalam krisis finansial saat ini nampaknya justru menjadi langakh utama penyelesaian krisis. Kerjasama coba ditawarkan Amerika Serikat bersama G7, G8, G20, dan semua negara dunia.


Lebih dari itu semua, fenomena ini menjadi sejarah baru dan menjadi niscaya bahwa peran negara penting dalam mengelola pasar. Pasar tidak self correcting. Dan benar apa yang dikatakan Richard Robinson dalam bukunya ”Indonesia: The Rise of Capital”, bahwa depresi ekonomi 1930-an menandai babak baru hubungan antara negara dan pasar. Hubungan harmonis negara dan pasar dan negara dengan negara lain (kerjasama) menjadi ’amunisi’ tangguh dalam menghalau atau mengeliminasi krisis yang meluas.

Begitulah kilasan krisis finansial yang (memang) berpotensi ke arah depresi. Namun demikian saya menyebut 'krisis finansial global ini sebagai resesi, bukannya depresi. Karena meskipun merupakan bencana besar bagi beberapa negara, tapi pada tingkat dunia kerusakan itu hingga sekarang jauh lebih kecil dari tingkat depresi. Semoga.[]
*) Alvin N Muhammad (Mahasiswa Pascasarjana Ekonomi UGM).

selanjutnya...

Belajar dari Kepiting

29 Oktober 2008


Belajar itu harus tak kenal lelah dan tak pilah-pilah. Dalam belajar tidak boleh mudah menyerah, karena sejatinya belajar adalah berusaha. Sebesar usahamu sebesar itu pula hasilmu. Bagaimana akan mendapat hasil yang maksimal kalau mudah menyerah.

Belajar juga tak boleh pilah-pilah. Belajar pada prinsipnya baik. Apa pun itu. Orang yang belajar senantiasa mengetahui dan orang yang tahu akan berharga. Begitu kata bijak.


Terkait dengan belajar, Batulis punya sebuah fabel yang cukup menarik untuk disimak. Mungkin sebelumnya Anda pernah membaca atau mendengarnya. Tapi fabel ini coba Batulis sajikan sedikit berbeda. Sehingga Anda pun dapat menangkap makna dibalik cerita dan kalau pun mau belajar darinya.


Begini ceritanya. Suatu hari seekor ibu kepiting dan anaknya terlibat dalam sebuah percakapan. Sang ibu kepiting berbicara pada anaknya ”Nak tak seharusnya kamu berjalan ke samping. Berjalanlah maju ke depan.” Anak kepiting pun menjawab ”Iya Bu akan aku laksanakan perintah Ibu. Aku akan berjalan maju ke depan. Dan tak akan lagi jalan ke samping.” Bagus kalau begitu.” Ujar Ibu ”Tapi aku tidak bisa melakukannya Bu.” Sela si anak memelas.

Sang Ibu kepiting pun berseru ”Berlatihlah terus anakku. Ku yakin akan bisa dirimu berjalan ke depan.” ”Tapi Bu, anakmu benar-benar tidak tahu cara berjalan ke depan. Karena Ibu tahu sejak kecil aku sudah berjalan ke samping.” Rengek anak kepiting kembali menimpali. ”Sudikah ibu mencontohkannya?” lanjut tanya si anak kepada ibunya.

Ibu kepiting agak sedikit geram. Akhirnya pun si Ibu memberi contoh. Berjalanlah si ibu kepiting dengan berseru ”Begini anakku, lihat cara berjalannya.” Tapi sang anak seketika terperanggah, ternyata si ibu berjalan ke samping. Dan tak pernah sanggup berjalan maju ke depan.

Begitulah ceritanya. Cukup menarik bukan? Apa makna di balik fabel Anak kepiting dan Ibunya? Fabel di atas memberikan makna kepada kita janganlah kita menyuruh orang, sementara diri kita tak sanggup melakukannya.

Bagaimana dengan diri kita. Seberapa sering kita berulah seperti sang ibu kepiting?

Fenomena sang ibu kepiting banyak terjadi di sekitar kita. Atau bahkan kita sendiri melakukannya. Seringkali menyuruh, memberikan petuah, nasehat orang lain, padahal kita sendiri belum pernah atau bahkan tak sanggup melakukannya.[]

selanjutnya...

Nasionalisme Negeri Gajah Putih-road in Thailand (3)

21 Mei 2008

:: R e f l e k s i H a r k i t n a s

Masyarakat Thailand sangatlah menghargai bangsanya. Mereka sangat menjunjung tinggi ragam identitas negara. Tingginya rasa cinta mereka membawa pada kesimpulan bahwa masyarakat Thailand merupakan masyarakat dengan rasa nasionalisme yang tinggi.

Simpulan saya di atas tidak tanpa bukti. Kenyataan untuk itu benar-benar terjadi. Bermula dari cerita teman saya sewaktu belanja di pasar Chatuchak. Pasar tradisional terbesar di Asia yang terkenal dengan anekaragam jenis barang yang dijual dan harga barang yang murah meriah. Ketika sedang berjalan di tengah keramaian pasar, teman saya ini terkejut dengan kondisi di sekitarnya. Ia merasa ada hal yang aneh baginya.

Keterkejutan teman saya ketika menyaksikan aktivitas pasar yang tiba-tiba berhenti. Hanya dia dan beberapa bule yang melakukan aktivitas jalan kaki. Para pejalan kaki lainnya yang mayoritas orang Thai menghentikan langkahnya, diam mematung. Penjual pun menghentikan transaksinya sejenak. Bahkan teman saya tadi juga menyaksikan seorang penjual membiarkan ikan jualannya yang jatuh ke tanah.

Aktivitas pasar yang mendadak berhenti ini bukan tanpa alasan. Waktu itu ternyata ada salah satu stasiun radio, mungkin radio nasional semacam RRInya Thailand, sedang memutar lagu kebangsaan Thailand. Lagu kebangsaan memancar dari radio dan seketika rakyat Thailand yang mendengar berhenti, berdiam diri.

Sungguh luar biasa fenomena di atas. Sedikit aneh bagi teman saya. Karena boleh jadi kondisi tersebut jarang atau bahkan tidak perah ditemui di Indonesia. Kebanyakan dari rakyat Indonesia yang saya ketahui tidak melakukan hal serupa masyarakat Thailand. Mereka tidak sedikit pun merasa syahdu ketika mendengar lagu kebangsaan Indonesia.

Tidak hanya lagu kebangsaan yang menunjukkan tingginya rasa nasionalisme rakyat Thailand. Masih banyak lagi contoh lainnya. Jika kita berkunjung ke Thailand, jangan heran ketika melihat puluhan bendera negara dan bendera kuning berlogo kerajaan terpasang di seluruh penjuru wilayah. Dan jangan pula mengira akan atau telah ada perhelatan.

Masyarakat Thailand sejak lama telah terbiasa memasang bendera negara dan bendera kerajaan Thailand. Mereka memasang bendera tidak hanya sewaktu hari besar saja. Melainkan setiap waktu dan tempat dapat terpasang bendera negaranya. Ketika hari besar semakin banyak bendera terpasang. Hal ini jelas menjadi bukti lain dari tingginya rasa cinta (baca. Nasionalisme) mereka kepada negara dan kerajaannya.

Sederet ulasan di atas hanyalah cerita pengalaman diri sewaktu mukim hampir sebulan di Thailand. Hanya itu, tidak ada motivasi dan pretense lain. Apalagi hendak membandingkan dengan nasionalisme rakyat Indonesia. Terlalu sempit untuk tujuan tersebut.

Namun tidak ada salahnya setelah membaca ulasan singkat ini kita sebagai bangsa Indonesia sedikit berefleksi dan kemudian bertanya. Bagaimana nasionalisme kita sebagai rakyat Indonesia? Akankah kita akan berhenti sejenak meresapi dan menghayati atau pun ikut bernyanyi, ketika lagu Indonesia raya dilantunkan? Akankah kita bangga dan merasa berharga ketika mendirikan bendera Merah Putih selain di tanggal 17 bulan Agustus dan hari kebangkitan nasional?[]


selanjutnya...

Timnas futsal Indonesia kalahkan Iraq-road in Thailand (2)

19 Mei 2008

Indonesia raya…merdeka merdeka…
tanahku negeriku yang kucinta…
Indonesia raya…merdeka merdeka…

Suara itu muncul dari pintu masuk utara Huamark Stadium. Tiga puluh dua mahasiswa lengkap dengan bendera merah putih memasuki stadion. Mereka hendak menjadi suporter timnas futsal yang sedang berlaga melawan Iraq dalam laga AFC Futsal Campionship 2008 di Thailand. Saat datang pertandingan telah berlangsung. Skor kedua tim masih sama 0-0.

Kedatangan puluhan mahasiswa ini menyita perhatian puluhan penonton dan beberapa pemain futsal di dalam stadion. Hal ini dikarenakan selain kedatangan mereka di tengah pertandingan berlangsung, juga dalam dua laga sebelumnya Indonesia main tanpa suporter.

Pertandingan yang menjadi laga ketiga timnas setelah melawan Kyrgystan dan tuan rumah, Thailand sebenarnya juga nyaris bermain tanpa supporter. Namun kebetulan para pemain dan official timnas bertemu dengan puluhan mahasiswa di national stadium, tempat laga Indonesia melawan Thailand dilaksanakan. Singkat cerita mahasiswa yang sedang melakukan student exchange di Rajamangala Universitiy of Technology Thanyaburi (RMUTT) Thailand ini, diminta untuk menjadi suporter.

Sebenarnya mahasiswa telah diminta menjadi suporter dalam laga kedua, ketika Indonesia melawan Thailand. Namun mahasiswa tidak bisa karena jadwal pertandingan bersamaan dengan agenda mahasiswa student exchange dengan KBRI di Bangkok.Puluhan mahasiswa seperti menemukan momentumnya setelah tidak bisa ikut mendukung dalam pertandingan sebelumnya. Mereka bernyanyi serentak dengan semangat memuncak. Tabuhan botol-botol kosong pun menambah riuh suasana. Menjadi aransemen pengiring lagu karya WR. Supratman.

Permainan terus berlangsung. Suporter pun terus bersorak menyemangati. Fair play menyelimuti permainan kedua tim papan bawah group A ini. Serangan demi serangan terus diluncurkan timnas Indonesia. Seperti tiada rasa lelah, yang ada hanya semangat dan kerja keras kedua tim untuk saling menjebol gawang lawan. Startegi-strategi jitu besutan para pelatih pun saling beradu.

Papan skor mulai bernilai, 1-0 untuk keunggulan timnas. Namun selang beberapa menit saja gol Iraq pun menyusul. Begitu saling berganti antara kedua tim. Hingga akhir babak pertama kedua tim bermain imbang dengan skor 2-2.

Peluit babak kedua dibunyikan. Pertanda babak kedua dimulai. Permainan kedua tim semakin seru berkembang, dan dinamis. Lagi-lagi para pelatih mengeluarkan strategi jitu untuk saling melemahkan lawan.

Sorak suporter pun semakin membahana ketika tendangan salah satu pemain timnas mengenai mistar gawang Iraq. Dan lagu pun kembali dinyanyikan. ”Garuda di dadaku, Garuda kebanggaanku. Kuyakin hari ini kita menang.” ”Garuda di dadaku, Garuda kebanggaanku. Kuyakin hari ini kita menang.” ”Garuda di dadaku, Garuda…

Di tengah riuh nyanyikan, sontak para mahasiswa yang menjadi suporter membisu. Indonesia kebobolan. Suporter semakin luruh dalam bisunya ketika dalam itungan detik selanjutnya, gawang Indonesia yang dijaga oleh Yos kembali dibobol. Skor berubah cepat menjadi 2-4. Indonesia tertinggal 2 gol.

Namun nampaknya suporter tidak mau terlena, terus berlarut dalam kesedihan. suporter menjadi trigger kembalinya semangat suporter lain dengan berkali-kali meneriakkan kata merdeka. ”Merdeka…merdeka…merdeka…” teriak susulan para suporter.

Yel-yel Garuda yang menjadi lagu timnas Indonesia kembali didendangkan. Semangat suporter telah kembali. Mereka terus bernyanyi dan bernyanyi. Seperti medle yang bernyanyi tanpa henti. Yel-yel berganti lagu, lagu berganti lagu begitu terus berganti tiada henti. Memang Nampak dalam guratan wajah suporter semangat nasionalismenya. Tak peduli peluh keringat yang bercucuran, suara yang mulai kering hamper menghilang. Mereka lakukan semua untuk satu tujuan, mendukung total timnas hingga memperoleh kemenangan.

Para pemain melakukan break time. Nampak dari bangku pemain, pelatih timnas futsal, Justinus Lhaksana, memberikan instruksi. Kayaknya aka nada perubahan strategi. Dan benar perubahan strategi terjadi. Penjaga gawang ditarik keluar digantikan pemain baru. Timnas main dengan 5 pemain, tanpa penjaga gawang.

Strategi yang dalam dunia futsal disebut power play besutan Justin terbukti jitu. Hanya selang 7 menit, 2 gol kembali diberikan timnas. Kini kedudukan menjadi sama, 4-4. Terlihat para pemain Iraq kewalahan dengan strategi ini. Satu pemain timnas selalu berdiri tanpa kawalan. Dan ini menjadi leluasa mengintai gawang Iraq. Sekali lengah tendangan melesat ke gawang Iraq.

Meski begitu strategi ini juga terbilang rawan. Bagaimana tidak, permaian dijalankan tanpa kiper. Sekali lengah, pemain depan musuh lepas dari kawalan bek timnas, gol pun terbuka untuk dicipta.
Meskipun demikian cerita di lapangan Huamark stadium berbeda. Timnas justru semakin berkuasa dalam permainan. Tendangan keras kearah gawang Iraq beberapa kali diluncurkan.

Tinggal 5 menit lagi babak usai, skor juga tak berubah, tetap 4-4. Kedua tim tetap bersemangat untuk menjebol gawang. Semua tim ingin mengakhiri pertandingan dengan kemenangan di tangan. Namun secara average Indonesia di atas awan. Beberapa kali kemelut depan gawang terjadi.

Waktu terus berjalan. Papan skor menunjukkan 2 menit lagi babak berakhir. Otak-atik bola dilakukan timnas. Passing cepat antarpemain dilakukan seperti permainan kucing-kucingan dalam pemanasan sepakbola. Kali ini kucing itu adalah Iraq. Terus berusaha merebut dari kaki pemain Indonesia.

Tidak berhasil direbut, yang terjadi justru kemelut bola di depan gawang Iraq. Kemelut lama terjadi seakan ikut mempercepat waktu yang hampir habis. Nampaknya pemain timnas tidak sabar menunggu. Kemelut pun diakhiri dengan tembakan keras dari pemain belakang timnas. Dan gol pun terjadi. Skor berubah. Indonesia lebih unggul daripada Iraq.

Kembali suporter riuh dengan lagu Garuda. ”Garuda di dadaku, Garuda kebanggaanku. Kuyakin hari ini kita menang.” ”Garuda di dadaku, Garuda kebanggaanku. Kuyakin hari ini kita menang.” ”Garuda di dadaku, Garuda…

Tiit…tit….tiit….Peluit panjang ditiup sang wasit. Pertanda waktu pertandingan sudah habis. Gegap-gempita memenuhi suasana stadion. Dan seketika puluhan suporter Indonesia melompat dan berlari menghampiri kawanan pemain timnas di tengah lapangan. Luapan kegembiraan pun terujud dalam teriakan-teriakan. Menang…Menang…Hidup Indonesia…Indonesia Menang…
Haru tak terelakkan. Namun tak berapa lama, satuan keamanan meneriakinya. Meminta para suporter untuk kembali ke bangku penonton. Dan berhamburanlah mereka patuh.

Timnas Indonesia juga meluapkan rasa gembira dan haru luar biasa. Kemenangan menjadi miliknya dan pundi-pundi bonus di depan mata. Meski dalam AFC Futsal Championship Thailand 2008 ini timnas tidak berhasil membawa piala, mereka cukup puas dengan posisi ketiga. Di atas mereka dua negara yang dengan pongah membantai Indonesia, Kyrgystan dan Thailand.[]


selanjutnya...

University in Mall

Hari-hari awal bulan Mei 2008, aku lewatkan di Negara tetangga Indonesia, Thailand. Sejak awal kedatanganku di Pulau Gajah, tidak ada hal yang begitu memesona. Tiada yang membuatku begitu terheran layaknya turis pada umumnya. Mungkin aku berbeda. Ya, boleh dibilang aku bukan termasuk dalam golongan yang mudah terlena. Atau mungkin, benar-benar tidak ada hal yang berhasil memesona diriku.
Hampir semua sektor kehidupan Thailand memiliki kemiripan dengan negaraku, Indonesia. Di Ibu kota, Bangkok misalnya, tidak berbeda dengan Jakarta sebagai ibu kota. Mal-mal tinggi menjulang berdiri, jalan layang (fly over), dan tol panjang mengular pun ada. Namun demikian tidak ketinggalan kesenjangan ekonomi yang tervisualisasi melalui rumah-rumah kecil-reot di tengah kesombongan bangunan perkantoran dan mal yang tinggi perkasa, juga menjadi warna Ibu kota Thailand.

Menginjak akhir minggu pertama, kesan-kesan di atas seakan sirna. Ada satu fenomena menarik. Awalnya aku hanya mengamati. Namun nampaknya fenomena ini tidak hanya membuatku berhenti dengan mengamati. Lebih lanjut terus mengajakku mencermati secara mendalam.

Fenomena ini benar-benar langka. Sepanjang pengamatan dan pengetahuanku, belum atau bahkan tidak akan kita temukan di seluruh sudut kota di Indonesia. Sehingga tidak berlebihan jika kemudian aku dokumentasikan melalui tulisan.

Ada tempat sekolah di mal. Itulah fenomenanya.
* * *
Mal. Kita semua mengenalnya sebagai pusat perbelanjaan. Dalam bahasa ekonomi disebut pasar. Tempat bertemunya penjual dan pembeli untuk melakukan transaksi. Jual-beli barang dan jasa. Tidak hanya itu beberapa mal besar memiliki beberapa ekstra-fungsi. Mal juga berfungsi sebagai arena bermain dan show area. Begitulah definisi mal yang kita pahami selama ini. Namun nampaknya definisi tersebut tidak berlaku di Bangkok. Beberapa mal besar di sana tidak hanya memfungsikan diri sebagai tempat penjualan barang dan jasa, arena bermain atau show area. Lebih dari itu mal-mal di Bangkok juga memfungsikan sebagai tempat pendidikan.

Memang sedikit aneh bagi kita. Bagaimana mungkin mal yang identik dengan hal glamor, hedonistik dapat berpadu dengan dunia pendiaikan. Kita semua tahu pendidikan merupakan bidang yang lekat dengan dunia akademik, pembelajaran dan pemikiran. Jauh dari dunia hedonis, yang hanya menyajikan kesenangan semata. Sungguh kontradiktif.

Mal Fashion Island salah satunya. Kalau kita berkunjung ke sana, akan kita temukan di lantai satu tempat pendidikan tingkat tinggi. Universitas Rajabhat Phranakhon University namanya. Universitas swasta ini berdiri lengkap dengan semua fasilitas pendidikan. Ruang kelas, laboratorium, kantor administrasi, dan taman baca.

Sekilas kita tidak akan tahu bahwa ruangan itu adalah universitas. Kita akan mengiranya ruko. Karena memang ruangannya kecil, seperti ukuran ruko-ruko lainnya. Namun yang membedakan hanya tampilan muka. Banner besar bergambar logo universitas dan beberapa meja-kuris panjang berbanjar di depannya.

Keheranan kita semakin bertambah ketika melihat beberapa mahasiswa dan dosen duduk di kursi-kursi sambil membaca dan beberapa mengerjakan tugas. Seperti tidak ada gangguan bagi mereka. Mereka terlihat begitu menikmati. Melakukan aktivitas akademis di tengah para pejalan kaki dan aktivitas jual-beli.

Sungguh menarik fenomena ini. Layak dijadikan bahan analisis kita. Kenapa perguruan tinggi bisa tumbuh di dalam mal? Mengapa hal ini bisa terjadi? Fenomena apa yang melatarinya? Akankah fenomena ini merupakan strategi baru untuk kembali mengajak masyarakat yang mulai kurang melirik sektor pendidikan. Ataukah sektor pendidikan telah menjadi komoditas baru yang cukup menjanjikan untuk dikapitalisasi? Atau fenomena apa?[]

selanjutnya...