Nasionalisme Negeri Gajah Putih-road in Thailand (3)

21 Mei 2008

:: R e f l e k s i H a r k i t n a s

Masyarakat Thailand sangatlah menghargai bangsanya. Mereka sangat menjunjung tinggi ragam identitas negara. Tingginya rasa cinta mereka membawa pada kesimpulan bahwa masyarakat Thailand merupakan masyarakat dengan rasa nasionalisme yang tinggi.

Simpulan saya di atas tidak tanpa bukti. Kenyataan untuk itu benar-benar terjadi. Bermula dari cerita teman saya sewaktu belanja di pasar Chatuchak. Pasar tradisional terbesar di Asia yang terkenal dengan anekaragam jenis barang yang dijual dan harga barang yang murah meriah. Ketika sedang berjalan di tengah keramaian pasar, teman saya ini terkejut dengan kondisi di sekitarnya. Ia merasa ada hal yang aneh baginya.

Keterkejutan teman saya ketika menyaksikan aktivitas pasar yang tiba-tiba berhenti. Hanya dia dan beberapa bule yang melakukan aktivitas jalan kaki. Para pejalan kaki lainnya yang mayoritas orang Thai menghentikan langkahnya, diam mematung. Penjual pun menghentikan transaksinya sejenak. Bahkan teman saya tadi juga menyaksikan seorang penjual membiarkan ikan jualannya yang jatuh ke tanah.

Aktivitas pasar yang mendadak berhenti ini bukan tanpa alasan. Waktu itu ternyata ada salah satu stasiun radio, mungkin radio nasional semacam RRInya Thailand, sedang memutar lagu kebangsaan Thailand. Lagu kebangsaan memancar dari radio dan seketika rakyat Thailand yang mendengar berhenti, berdiam diri.

Sungguh luar biasa fenomena di atas. Sedikit aneh bagi teman saya. Karena boleh jadi kondisi tersebut jarang atau bahkan tidak perah ditemui di Indonesia. Kebanyakan dari rakyat Indonesia yang saya ketahui tidak melakukan hal serupa masyarakat Thailand. Mereka tidak sedikit pun merasa syahdu ketika mendengar lagu kebangsaan Indonesia.

Tidak hanya lagu kebangsaan yang menunjukkan tingginya rasa nasionalisme rakyat Thailand. Masih banyak lagi contoh lainnya. Jika kita berkunjung ke Thailand, jangan heran ketika melihat puluhan bendera negara dan bendera kuning berlogo kerajaan terpasang di seluruh penjuru wilayah. Dan jangan pula mengira akan atau telah ada perhelatan.

Masyarakat Thailand sejak lama telah terbiasa memasang bendera negara dan bendera kerajaan Thailand. Mereka memasang bendera tidak hanya sewaktu hari besar saja. Melainkan setiap waktu dan tempat dapat terpasang bendera negaranya. Ketika hari besar semakin banyak bendera terpasang. Hal ini jelas menjadi bukti lain dari tingginya rasa cinta (baca. Nasionalisme) mereka kepada negara dan kerajaannya.

Sederet ulasan di atas hanyalah cerita pengalaman diri sewaktu mukim hampir sebulan di Thailand. Hanya itu, tidak ada motivasi dan pretense lain. Apalagi hendak membandingkan dengan nasionalisme rakyat Indonesia. Terlalu sempit untuk tujuan tersebut.

Namun tidak ada salahnya setelah membaca ulasan singkat ini kita sebagai bangsa Indonesia sedikit berefleksi dan kemudian bertanya. Bagaimana nasionalisme kita sebagai rakyat Indonesia? Akankah kita akan berhenti sejenak meresapi dan menghayati atau pun ikut bernyanyi, ketika lagu Indonesia raya dilantunkan? Akankah kita bangga dan merasa berharga ketika mendirikan bendera Merah Putih selain di tanggal 17 bulan Agustus dan hari kebangkitan nasional?[]


selanjutnya...

Timnas futsal Indonesia kalahkan Iraq-road in Thailand (2)

19 Mei 2008

Indonesia raya…merdeka merdeka…
tanahku negeriku yang kucinta…
Indonesia raya…merdeka merdeka…

Suara itu muncul dari pintu masuk utara Huamark Stadium. Tiga puluh dua mahasiswa lengkap dengan bendera merah putih memasuki stadion. Mereka hendak menjadi suporter timnas futsal yang sedang berlaga melawan Iraq dalam laga AFC Futsal Campionship 2008 di Thailand. Saat datang pertandingan telah berlangsung. Skor kedua tim masih sama 0-0.

Kedatangan puluhan mahasiswa ini menyita perhatian puluhan penonton dan beberapa pemain futsal di dalam stadion. Hal ini dikarenakan selain kedatangan mereka di tengah pertandingan berlangsung, juga dalam dua laga sebelumnya Indonesia main tanpa suporter.

Pertandingan yang menjadi laga ketiga timnas setelah melawan Kyrgystan dan tuan rumah, Thailand sebenarnya juga nyaris bermain tanpa supporter. Namun kebetulan para pemain dan official timnas bertemu dengan puluhan mahasiswa di national stadium, tempat laga Indonesia melawan Thailand dilaksanakan. Singkat cerita mahasiswa yang sedang melakukan student exchange di Rajamangala Universitiy of Technology Thanyaburi (RMUTT) Thailand ini, diminta untuk menjadi suporter.

Sebenarnya mahasiswa telah diminta menjadi suporter dalam laga kedua, ketika Indonesia melawan Thailand. Namun mahasiswa tidak bisa karena jadwal pertandingan bersamaan dengan agenda mahasiswa student exchange dengan KBRI di Bangkok.Puluhan mahasiswa seperti menemukan momentumnya setelah tidak bisa ikut mendukung dalam pertandingan sebelumnya. Mereka bernyanyi serentak dengan semangat memuncak. Tabuhan botol-botol kosong pun menambah riuh suasana. Menjadi aransemen pengiring lagu karya WR. Supratman.

Permainan terus berlangsung. Suporter pun terus bersorak menyemangati. Fair play menyelimuti permainan kedua tim papan bawah group A ini. Serangan demi serangan terus diluncurkan timnas Indonesia. Seperti tiada rasa lelah, yang ada hanya semangat dan kerja keras kedua tim untuk saling menjebol gawang lawan. Startegi-strategi jitu besutan para pelatih pun saling beradu.

Papan skor mulai bernilai, 1-0 untuk keunggulan timnas. Namun selang beberapa menit saja gol Iraq pun menyusul. Begitu saling berganti antara kedua tim. Hingga akhir babak pertama kedua tim bermain imbang dengan skor 2-2.

Peluit babak kedua dibunyikan. Pertanda babak kedua dimulai. Permainan kedua tim semakin seru berkembang, dan dinamis. Lagi-lagi para pelatih mengeluarkan strategi jitu untuk saling melemahkan lawan.

Sorak suporter pun semakin membahana ketika tendangan salah satu pemain timnas mengenai mistar gawang Iraq. Dan lagu pun kembali dinyanyikan. ”Garuda di dadaku, Garuda kebanggaanku. Kuyakin hari ini kita menang.” ”Garuda di dadaku, Garuda kebanggaanku. Kuyakin hari ini kita menang.” ”Garuda di dadaku, Garuda…

Di tengah riuh nyanyikan, sontak para mahasiswa yang menjadi suporter membisu. Indonesia kebobolan. Suporter semakin luruh dalam bisunya ketika dalam itungan detik selanjutnya, gawang Indonesia yang dijaga oleh Yos kembali dibobol. Skor berubah cepat menjadi 2-4. Indonesia tertinggal 2 gol.

Namun nampaknya suporter tidak mau terlena, terus berlarut dalam kesedihan. suporter menjadi trigger kembalinya semangat suporter lain dengan berkali-kali meneriakkan kata merdeka. ”Merdeka…merdeka…merdeka…” teriak susulan para suporter.

Yel-yel Garuda yang menjadi lagu timnas Indonesia kembali didendangkan. Semangat suporter telah kembali. Mereka terus bernyanyi dan bernyanyi. Seperti medle yang bernyanyi tanpa henti. Yel-yel berganti lagu, lagu berganti lagu begitu terus berganti tiada henti. Memang Nampak dalam guratan wajah suporter semangat nasionalismenya. Tak peduli peluh keringat yang bercucuran, suara yang mulai kering hamper menghilang. Mereka lakukan semua untuk satu tujuan, mendukung total timnas hingga memperoleh kemenangan.

Para pemain melakukan break time. Nampak dari bangku pemain, pelatih timnas futsal, Justinus Lhaksana, memberikan instruksi. Kayaknya aka nada perubahan strategi. Dan benar perubahan strategi terjadi. Penjaga gawang ditarik keluar digantikan pemain baru. Timnas main dengan 5 pemain, tanpa penjaga gawang.

Strategi yang dalam dunia futsal disebut power play besutan Justin terbukti jitu. Hanya selang 7 menit, 2 gol kembali diberikan timnas. Kini kedudukan menjadi sama, 4-4. Terlihat para pemain Iraq kewalahan dengan strategi ini. Satu pemain timnas selalu berdiri tanpa kawalan. Dan ini menjadi leluasa mengintai gawang Iraq. Sekali lengah tendangan melesat ke gawang Iraq.

Meski begitu strategi ini juga terbilang rawan. Bagaimana tidak, permaian dijalankan tanpa kiper. Sekali lengah, pemain depan musuh lepas dari kawalan bek timnas, gol pun terbuka untuk dicipta.
Meskipun demikian cerita di lapangan Huamark stadium berbeda. Timnas justru semakin berkuasa dalam permainan. Tendangan keras kearah gawang Iraq beberapa kali diluncurkan.

Tinggal 5 menit lagi babak usai, skor juga tak berubah, tetap 4-4. Kedua tim tetap bersemangat untuk menjebol gawang. Semua tim ingin mengakhiri pertandingan dengan kemenangan di tangan. Namun secara average Indonesia di atas awan. Beberapa kali kemelut depan gawang terjadi.

Waktu terus berjalan. Papan skor menunjukkan 2 menit lagi babak berakhir. Otak-atik bola dilakukan timnas. Passing cepat antarpemain dilakukan seperti permainan kucing-kucingan dalam pemanasan sepakbola. Kali ini kucing itu adalah Iraq. Terus berusaha merebut dari kaki pemain Indonesia.

Tidak berhasil direbut, yang terjadi justru kemelut bola di depan gawang Iraq. Kemelut lama terjadi seakan ikut mempercepat waktu yang hampir habis. Nampaknya pemain timnas tidak sabar menunggu. Kemelut pun diakhiri dengan tembakan keras dari pemain belakang timnas. Dan gol pun terjadi. Skor berubah. Indonesia lebih unggul daripada Iraq.

Kembali suporter riuh dengan lagu Garuda. ”Garuda di dadaku, Garuda kebanggaanku. Kuyakin hari ini kita menang.” ”Garuda di dadaku, Garuda kebanggaanku. Kuyakin hari ini kita menang.” ”Garuda di dadaku, Garuda…

Tiit…tit….tiit….Peluit panjang ditiup sang wasit. Pertanda waktu pertandingan sudah habis. Gegap-gempita memenuhi suasana stadion. Dan seketika puluhan suporter Indonesia melompat dan berlari menghampiri kawanan pemain timnas di tengah lapangan. Luapan kegembiraan pun terujud dalam teriakan-teriakan. Menang…Menang…Hidup Indonesia…Indonesia Menang…
Haru tak terelakkan. Namun tak berapa lama, satuan keamanan meneriakinya. Meminta para suporter untuk kembali ke bangku penonton. Dan berhamburanlah mereka patuh.

Timnas Indonesia juga meluapkan rasa gembira dan haru luar biasa. Kemenangan menjadi miliknya dan pundi-pundi bonus di depan mata. Meski dalam AFC Futsal Championship Thailand 2008 ini timnas tidak berhasil membawa piala, mereka cukup puas dengan posisi ketiga. Di atas mereka dua negara yang dengan pongah membantai Indonesia, Kyrgystan dan Thailand.[]


selanjutnya...

University in Mall

Hari-hari awal bulan Mei 2008, aku lewatkan di Negara tetangga Indonesia, Thailand. Sejak awal kedatanganku di Pulau Gajah, tidak ada hal yang begitu memesona. Tiada yang membuatku begitu terheran layaknya turis pada umumnya. Mungkin aku berbeda. Ya, boleh dibilang aku bukan termasuk dalam golongan yang mudah terlena. Atau mungkin, benar-benar tidak ada hal yang berhasil memesona diriku.
Hampir semua sektor kehidupan Thailand memiliki kemiripan dengan negaraku, Indonesia. Di Ibu kota, Bangkok misalnya, tidak berbeda dengan Jakarta sebagai ibu kota. Mal-mal tinggi menjulang berdiri, jalan layang (fly over), dan tol panjang mengular pun ada. Namun demikian tidak ketinggalan kesenjangan ekonomi yang tervisualisasi melalui rumah-rumah kecil-reot di tengah kesombongan bangunan perkantoran dan mal yang tinggi perkasa, juga menjadi warna Ibu kota Thailand.

Menginjak akhir minggu pertama, kesan-kesan di atas seakan sirna. Ada satu fenomena menarik. Awalnya aku hanya mengamati. Namun nampaknya fenomena ini tidak hanya membuatku berhenti dengan mengamati. Lebih lanjut terus mengajakku mencermati secara mendalam.

Fenomena ini benar-benar langka. Sepanjang pengamatan dan pengetahuanku, belum atau bahkan tidak akan kita temukan di seluruh sudut kota di Indonesia. Sehingga tidak berlebihan jika kemudian aku dokumentasikan melalui tulisan.

Ada tempat sekolah di mal. Itulah fenomenanya.
* * *
Mal. Kita semua mengenalnya sebagai pusat perbelanjaan. Dalam bahasa ekonomi disebut pasar. Tempat bertemunya penjual dan pembeli untuk melakukan transaksi. Jual-beli barang dan jasa. Tidak hanya itu beberapa mal besar memiliki beberapa ekstra-fungsi. Mal juga berfungsi sebagai arena bermain dan show area. Begitulah definisi mal yang kita pahami selama ini. Namun nampaknya definisi tersebut tidak berlaku di Bangkok. Beberapa mal besar di sana tidak hanya memfungsikan diri sebagai tempat penjualan barang dan jasa, arena bermain atau show area. Lebih dari itu mal-mal di Bangkok juga memfungsikan sebagai tempat pendidikan.

Memang sedikit aneh bagi kita. Bagaimana mungkin mal yang identik dengan hal glamor, hedonistik dapat berpadu dengan dunia pendiaikan. Kita semua tahu pendidikan merupakan bidang yang lekat dengan dunia akademik, pembelajaran dan pemikiran. Jauh dari dunia hedonis, yang hanya menyajikan kesenangan semata. Sungguh kontradiktif.

Mal Fashion Island salah satunya. Kalau kita berkunjung ke sana, akan kita temukan di lantai satu tempat pendidikan tingkat tinggi. Universitas Rajabhat Phranakhon University namanya. Universitas swasta ini berdiri lengkap dengan semua fasilitas pendidikan. Ruang kelas, laboratorium, kantor administrasi, dan taman baca.

Sekilas kita tidak akan tahu bahwa ruangan itu adalah universitas. Kita akan mengiranya ruko. Karena memang ruangannya kecil, seperti ukuran ruko-ruko lainnya. Namun yang membedakan hanya tampilan muka. Banner besar bergambar logo universitas dan beberapa meja-kuris panjang berbanjar di depannya.

Keheranan kita semakin bertambah ketika melihat beberapa mahasiswa dan dosen duduk di kursi-kursi sambil membaca dan beberapa mengerjakan tugas. Seperti tidak ada gangguan bagi mereka. Mereka terlihat begitu menikmati. Melakukan aktivitas akademis di tengah para pejalan kaki dan aktivitas jual-beli.

Sungguh menarik fenomena ini. Layak dijadikan bahan analisis kita. Kenapa perguruan tinggi bisa tumbuh di dalam mal? Mengapa hal ini bisa terjadi? Fenomena apa yang melatarinya? Akankah fenomena ini merupakan strategi baru untuk kembali mengajak masyarakat yang mulai kurang melirik sektor pendidikan. Ataukah sektor pendidikan telah menjadi komoditas baru yang cukup menjanjikan untuk dikapitalisasi? Atau fenomena apa?[]

selanjutnya...